Thursday, February 15, 2007

Movie : Kenapa film Indonesia jelek ?

Semenjak taun-taun jadul (sebelum pembajak video beta lahir) film holywood bener bener money maker bagi pemilik bioskop di indonesia. Di akhir 70’ awal 80’ dimana globalisasi mulai mudah dicerna oleh lebih banyak orang (intelegensi (bukan) sebagai faktor terpenting waktu itu...um..juga sekarang), bisnis ini sukses menghasilkan taipan-taipan bioskop yang menggemari roti cane.
Mungkin untuk sebagai penyeimbang arus globalisasi (klise), menggalakan perfileman nasional (klise lagi), melindungi kebudayaan bangsa (Zzzzzz…), Dept Penerangan mengharuskan seluruh bioskop termasuk bioskop elite yg memutar film asing untuk memutar film indonesia dengan sebuah perbandingan kuota. Dan efeknya, pemilik bioskop selain mengimpor film asing, harus juga membeli film buatan lokal. Saya yakin pada awalnya penuh semangat, penuh kesadaran bagi sineas-sineas serius kita, dari dalam hati “our time has come !”.
Mulai sejak itu sineas lokal menemukan jalannya, menemukan hati penonton bahkan menemukan antrian tiket yg panjang dan antusias. Film lokal dibangun dengan mainstream drama yg begitu kuat. Bioskop benar-benar tempat sempurna bagi kebersamaan keluarga, tempat yg romantis bagi sepasang kekasih, surga bagi pencupang.
Tapi tiba-tiba…Star Wars….Star Trek….ET….Terminator datang ke bioskop memberikan pengalaman menonton yg lebih menegangkan, menyebabkan lebih banyak antrian tiket, lebih banyak pop corn yg terjual juga suvenir yang collectible. Bisa dibayangkan kegilaan akan Star Wars, sekarang saja kita ngga terlalu gila sama tokoh-tokoh blockbuster The Matrix yg menurut saya tidak kalah heroik, atau bahkan dari film Rambo, mana ada iket kepala merahnya yg collectible. Memang, penulis “belum terlalu cerdas” dikala trend itu, tapi hanya membandingkannya dengan masa sekarang dan tidak ada film yg se-blockbuster Star Wars kala itu.
Yang pasti trend telah bergeser dari drama ke action, futuristik, superhero, alien. Penggunaan special effect dengan medium miniatur, stop-motion, green screen, surround audio dan kemudian CGI menjadi elemen yg sebanding dengan imajinasi tertinggi sineas holywood.
Lalu apa yg bisa kita jual ? anak tiri ?....sundel bolong ?....musikal dangdut ?...jangan kecil hati kita masih punya seniman-seniman sineas yg idealis yang tetap berkerja sampai akhirnya mereka menerima kenyataan bahwa tidak ada lagi antrian penonton di loket film mereka tetapi di loket …sebelah.
Film lokal tidak kemudian tidak mampu keep pace dengan trend ini, mereka akhirnya meninggalkan idealisme (atau orang yang beridealisme) dan mulai mengerjakan proyek film berbudget ringan, berkualitas rendah, beraktor seksi, bernaskah…tipis. Film dibuat hanya untuk mengikuti aturan main yang diatur pemerintah yang tetap mengharuskan pengusaha bioskop untuk memutar film lokal. Lalu, film lokal yg seperti apa ? sineas idealis seakan mulai kehilangan gairah dengan proyeknya. Pada masa ini, dan sebenarnya pada masa sebelum masa sulit ini, kita bisa melihat bahwa pengusaha bioskop dengan motivasi profit atau karena memang diharuskan “memutar” film indonesia di bioskopnya, ikut terjun dalam produksi film nasional. Tidak ada batasan kepemilikan antara pemilik bioskop dan pemilik rumah produksi, semuanya…ya orangnya it-itu juga. Sebagai contoh manajer sebuah bioskop ikut bermain sebagai penjahat di sebuah film silat pendekar. Silahkan analisi sendiri, siapa sih para pemilik usaha bioskop konvensional dan siapa aja orang yang ada di credit title film. Hmm…smells like cane bun.
Ada highlight dalam perjalanan kedepan yaitu “Catatan si Boy” cukup meledak tetapi trend yang dibawanya sama sekali tidak mengarah kepada perbaikan kualitas film lokal. Di tahun-tahun kedepan booming yg terjadi adalah maraknya film esek-esek yang garing, tetapi tetap…booming.

…to be continued

No comments: