Monday, February 26, 2007

Adsearch Profit

Business Week writes an interesting article about the latest update of Yahoo Search Marketing (a service similar to Google AdWords). We find out that Google makes between 19 and 21 cents for each search, while Yahoo earns around 10-11 cents per search. Yahoo hopes to improve its performances with this update code-named Panama, that delivers better targeted advertising.

Movie Article : The Texas Chainsaw Massacre

The Texas Chainsaw Massacre, motion picture about a group of teenagers who
travel to their grandfather's old house and find it inhabited by an evil
family, loosely based on the true story of serial killer Ed Gein. Released
in 1974, this horror film was directed by Tobe Hooper. Sally (played by
Marilyn Burns) travels into the country with her friends to see if reports
of a cemetery vandalism are referring to her grandfather's tomb. They pick
up a hitchhiker on the way who exhibits clear psychopathic tendencies, and
by the time they eject him from the van he has wounded one of them. Later,
they find the old house, which has gone to ruin. The teens split up and
wander around the area, some heading off to inspect the house. It becomes
apparent that no one that enters the house is leaving, and Sally
investigates. Gruesome terror results.

Director
(Tobe Hooper)

Cast
Marilyn Burns (Sally)
Allen Danzinger (Jerry)
Paul A. Partain (Franklin)
William Vail (Kirk)
Teri McMinn ( Pam)
Edwin Neal (Hitchhiker)
Jim Siedow (Old man)
Gunner Hansen (Leatherface)
John Dugan (Grandfather)
Jerry Lorenz (Pickup driver)

Trivia

Other films by director Hooper include Poltergeist (1982) and the made for
television film Salem's Lot (1979)

Article : Between Sunni and Shia

Regarding the conflict at Iraq, I think this article should enlite our
knowledge.

Sunni Islam, one of the two main branches of Islam. Shia Islam is the other.
Sunni Muslims constitute the vast majority in the world Islamic community
(see Islam). The term sunna means the "way" or the "example" and refers to
the example of the Prophet Muhammad. All Islamic groups and sects, however,
accept the Sunna, along with the Qur'an (Koran), the sacred scriptures of
Islam, as binding. Because it means the "way," the term sunna may also be
intended to distinguish mainstream Muslims from Shia Muslims, who follow a
side path.

The two main branches of Islam differ primarily in their beliefs about the
succession to Muhammad. Sunni Muslims believe that Muhammad intended that
the Muslim community choose a successor, or caliph, by consensus to lead the
theocracy (earthly kingdom under divine rule) he had set up. Shia Muslims,
also known as Shias, believe that Muhammad chose his son-in-law, Ali, as his
successor, and that only the descendents of Ali and his wife, Fatima, were
entitled to rule the Muslim community. There are also differences between
the two branches in interpretation of the Qur'an.

The doctrines of Sunni Islam were formed toward the end of the 9th century,
and its theology was developed as a complete system during the 10th century.
Both developments occurred, in large measure, as reactions to early
schismatic movements, such as the Kharijites, Mutazilites, and Shias. The
inclusive Sunni definition of a Muslim, for instance, was conceived in
reaction to the narrow extremism of the Kharijites. The strong Sunni
emphasis on God's power, will, and determination of human fate developed in
reaction to the Mutazilite insistence on the absolute freedom of the human
will. Sunni political doctrines emerged in the struggle against the
legitimism espoused by the Shias in the dispute over the succession to
Muhammad (see Caliphate). Various nuances of interpretation and different
schools have developed within Sunni theology, the Sunni tendency having been
to accommodate minor differences of opinion and to affirm the consensus of
the community in doctrinal matters. Four schools of law also developed in
the Sunni tradition: the Shafi'i, the Hanafi, the Maliki, and the Hanbali.

Thursday, February 15, 2007

Movie : Grudge 2 “Gotta bring Shimizu”

My rating : 4/5
Belum pernah ada film horror holywood yg bikin gue takut ke wc setelah nonton, maklum nontonnya aja sendirian trus lampu gue matiin juga. Pada title awal gue antusias banget karena Renny Harlin Cuma jadi produser, dan sutradara langsung dipegang sama kreatornya Juon, Takeshi Shimizu. Akibatnya fatal bagi penonton, karena disuguhi bukan aja ketegangan tapi juga penampilan setan yg bener bener seram (yg orang hollywood ngga becus bikinnya). Status remake disini lebih kepada “inspired by”, dimana keseluruhan jalan cerita benar benar baru dan berbeda jauh dengan juon 2. music scoring sangat “menganggu”, mengingatkan nuansa versi jepangnya. Yang hampir merusak film ini, spesial effect untuk rambut kayako di telepon umum dan adegan chix di locker room, sangat tipikal hollywood, hampir bikin syaraf gue kendor lagi. Untuk yg mo nonton please be aware karena film ini menceritakan 3 masa, so pay attention.

Movie : Departed “khas Scorsese”

My rating : 4.5/5

Mungkin ini film terbaik pilihan saya untuk bulan ini. Nyaman untuk ditonton, and “I’m stoned to every details on it”. Remake dari film Hong Kong, berkisah tentang dua “penyebrang”, di pihak polisi dan penjahat. Big applause untuk Jack Nicholson yang memerankan bos penjahat yang “animatif” kejam sekaligus hangat. Screenplay yang kreatif dan menegangkan. Tapi seperti film Scorsese yang lain (Taxi Driver, Goodfellas), penggambaran kekerasan…..sangat keras, kematian oleh pembunuh berdarah dingin akan datang dengan cepat dan ringan bagi pemeran pembantu dan para cameo. Ditambah dengan dialog yang sangat kotor tidak direkomendasikan untuk yang dibawah umur, gue yakin banyak remaja cewe yang pengen mantengin Leo diCaprio.

Movie : Kenapa film Indonesia jelek ?

Semenjak taun-taun jadul (sebelum pembajak video beta lahir) film holywood bener bener money maker bagi pemilik bioskop di indonesia. Di akhir 70’ awal 80’ dimana globalisasi mulai mudah dicerna oleh lebih banyak orang (intelegensi (bukan) sebagai faktor terpenting waktu itu...um..juga sekarang), bisnis ini sukses menghasilkan taipan-taipan bioskop yang menggemari roti cane.
Mungkin untuk sebagai penyeimbang arus globalisasi (klise), menggalakan perfileman nasional (klise lagi), melindungi kebudayaan bangsa (Zzzzzz…), Dept Penerangan mengharuskan seluruh bioskop termasuk bioskop elite yg memutar film asing untuk memutar film indonesia dengan sebuah perbandingan kuota. Dan efeknya, pemilik bioskop selain mengimpor film asing, harus juga membeli film buatan lokal. Saya yakin pada awalnya penuh semangat, penuh kesadaran bagi sineas-sineas serius kita, dari dalam hati “our time has come !”.
Mulai sejak itu sineas lokal menemukan jalannya, menemukan hati penonton bahkan menemukan antrian tiket yg panjang dan antusias. Film lokal dibangun dengan mainstream drama yg begitu kuat. Bioskop benar-benar tempat sempurna bagi kebersamaan keluarga, tempat yg romantis bagi sepasang kekasih, surga bagi pencupang.
Tapi tiba-tiba…Star Wars….Star Trek….ET….Terminator datang ke bioskop memberikan pengalaman menonton yg lebih menegangkan, menyebabkan lebih banyak antrian tiket, lebih banyak pop corn yg terjual juga suvenir yang collectible. Bisa dibayangkan kegilaan akan Star Wars, sekarang saja kita ngga terlalu gila sama tokoh-tokoh blockbuster The Matrix yg menurut saya tidak kalah heroik, atau bahkan dari film Rambo, mana ada iket kepala merahnya yg collectible. Memang, penulis “belum terlalu cerdas” dikala trend itu, tapi hanya membandingkannya dengan masa sekarang dan tidak ada film yg se-blockbuster Star Wars kala itu.
Yang pasti trend telah bergeser dari drama ke action, futuristik, superhero, alien. Penggunaan special effect dengan medium miniatur, stop-motion, green screen, surround audio dan kemudian CGI menjadi elemen yg sebanding dengan imajinasi tertinggi sineas holywood.
Lalu apa yg bisa kita jual ? anak tiri ?....sundel bolong ?....musikal dangdut ?...jangan kecil hati kita masih punya seniman-seniman sineas yg idealis yang tetap berkerja sampai akhirnya mereka menerima kenyataan bahwa tidak ada lagi antrian penonton di loket film mereka tetapi di loket …sebelah.
Film lokal tidak kemudian tidak mampu keep pace dengan trend ini, mereka akhirnya meninggalkan idealisme (atau orang yang beridealisme) dan mulai mengerjakan proyek film berbudget ringan, berkualitas rendah, beraktor seksi, bernaskah…tipis. Film dibuat hanya untuk mengikuti aturan main yang diatur pemerintah yang tetap mengharuskan pengusaha bioskop untuk memutar film lokal. Lalu, film lokal yg seperti apa ? sineas idealis seakan mulai kehilangan gairah dengan proyeknya. Pada masa ini, dan sebenarnya pada masa sebelum masa sulit ini, kita bisa melihat bahwa pengusaha bioskop dengan motivasi profit atau karena memang diharuskan “memutar” film indonesia di bioskopnya, ikut terjun dalam produksi film nasional. Tidak ada batasan kepemilikan antara pemilik bioskop dan pemilik rumah produksi, semuanya…ya orangnya it-itu juga. Sebagai contoh manajer sebuah bioskop ikut bermain sebagai penjahat di sebuah film silat pendekar. Silahkan analisi sendiri, siapa sih para pemilik usaha bioskop konvensional dan siapa aja orang yang ada di credit title film. Hmm…smells like cane bun.
Ada highlight dalam perjalanan kedepan yaitu “Catatan si Boy” cukup meledak tetapi trend yang dibawanya sama sekali tidak mengarah kepada perbaikan kualitas film lokal. Di tahun-tahun kedepan booming yg terjadi adalah maraknya film esek-esek yang garing, tetapi tetap…booming.

…to be continued

Monday, February 12, 2007

Prelude

well this is my first blog, just remember everything you read in here based on my egocentric mind